Woiwnews.com – Proses evakuasi pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27), yang ditemukan meninggal dunia usai terjatuh di Gunung Rinjani, menuai sorotan dari relawan setempat. Juliana diketahui mendaki bersama lima wisatawan lainnya melalui jalur Sembalun pada Sabtu (21/6) pagi. Namun, ia tidak kunjung menyusul ke puncak dan diduga jatuh ke jurang setelah terlihat terakhir kali istirahat.
Pemandu mendaki yang mendampingi Juliana kemudian menyadari ada cahaya senter di dasar jurang, diduga milik korban. Proses pencarian pun langsung dilakukan oleh tim gabungan, termasuk sukarelawan dari Rinjani Squad. Abdul Haris Agam, salah satu relawan SAR yang akrab disapa Agam Rinjani, mengoordinasikan strategi evakuasi meski awalnya berada di Jakarta.
Pencarian dimulai pada pukul 09.50 WITA, namun cuaca berkabut dan medan yang terjal menyulitkan tim. Lokasi jatuhnya korban berada di kawasan pasir miring dengan potensi longsoran batu yang tinggi. “Tebalnya kabut membuat kami tidak bisa melihat batu-batu rawan runtuh, sangat membahayakan untuk turun,” jelas Agam.
Pencarian dilanjutkan keesokan harinya dengan dukungan drone dan UAV, namun kembali terhambat kondisi cuaca. Baru pada Senin (23/6), korban ditemukan dalam kondisi tak bergerak di kedalaman sekitar 590 meter. Evakuasi belum bisa dilakukan karena jarak pandang terbatas dan risiko tinggi.
Proses pengangkatan jenazah baru dilakukan pada Selasa (24/6), saat satu petugas dari Basarnas berhasil mencapai titik korban dan memastikan kondisinya. Tim lain termasuk Agam dan relawan Rinjani Squad menyusul untuk melakukan pembungkusan jenazah. Metode lifting digunakan keesokan harinya, dan jenazah dibawa ke Posko Sembalun sebelum diterbangkan ke RS Bhayangkara Polda NTB.
Agam menyampaikan keprihatinan atas keterlambatan evakuasi akibat minimnya peralatan di lapangan. Ia menilai jika tali evakuasi tersedia sejak hari pertama, korban kemungkinan bisa diselamatkan. “Kalau talinya ada, nyawanya mungkin tertolong. Tapi alat evakuasi itu tak langsung tersedia di lokasi,” ujar Agam dalam sebuah dialog publik.
Ia juga menyesalkan tidak adanya bantuan darurat seperti air minum, selimut, atau alat komunikasi yang bisa dilemparkan ke lokasi jatuhnya korban. “Kasih air, sleeping bag, atau HT agar korban bisa tetap bertahan sampai bantuan datang,” katanya.
Agam menyoroti perlunya shelter darurat di titik-titik strategis di kawasan Rinjani. Menurutnya, keterbatasan alat serta ego sektoral dari beberapa pihak menghambat kelancaran operasi penyelamatan. “Harus ada shelter dengan alat rescue siap pakai. Tapi di Rinjani, alat rescue sering dianggap milik kelompok tertentu, bukan untuk umum,” imbuhnya.
Ia juga mendorong pemerintah mempertimbangkan penggunaan helikopter sebagai sarana evakuasi cepat dalam kondisi darurat. “Helikopter adalah alat paling cepat dan efektif. Tinggal kebijakan pemerintah mau atau tidak menyiapkannya,” tandasnya.
Autopsi yang dilakukan RS Bali Mandara menyimpulkan bahwa Juliana meninggal akibat benturan keras, dengan estimasi waktu kematian sekitar 20 menit setelah jatuh.
Meninggalnya Juliana menjadi pelajaran penting bagi pengelolaan keselamatan pendaki dan kesiapsiagaan tim penyelamat di kawasan wisata alam seperti Gunung Rinjani.