Woiwnews.com – Tupperware, merek legendaris asal Amerika Serikat yang identik dengan peralatan rumah tangga, kini berada di ambang kebangkrutan. Perusahaan ini dilaporkan tengah bersiap untuk mengajukan perlindungan pengadilan setelah menghadapi kesulitan dalam mempertahankan kelangsungan operasionalnya. Langkah tersebut dilakukan setelah upaya selama satu tahun untuk menyelamatkan bisnis ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan, terutama di tengah menurunnya permintaan pasar.
Menurut laporan dari The Straits Times pada Rabu (18/9/2024), brand ini telah melanggar persyaratan pembayaran utangnya yang mencapai lebih dari USD 700 juta. Gagal memenuhi kewajiban ini, Tupperware pun telah meminta bantuan penasihat hukum dan keuangan untuk mengatasi krisis tersebut. Meski rencana ini belum final dan masih bisa berubah, persiapan pengajuan kebangkrutan tetap berjalan. Seorang perwakilan dari Tupperware, bagaimanapun, menolak untuk memberikan komentar terkait situasi ini.
Negosiasi yang Berlarut-larut dengan Pemberi Pinjaman
Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah negosiasi yang tak kunjung mencapai kesepakatan antara brand ini dan para pemberi pinjamannya. Pada awal tahun 2024, pemberi pinjaman telah memberikan kelonggaran terkait persyaratan utang yang telah dilanggar oleh Tupperware. Namun, kondisi keuangan perusahaan terus memburuk, dan rencana restrukturisasi pun belum memberikan hasil yang signifikan.
Perusahaan juga menghadapi tantangan besar dari sisi operasional. Pada Juni 2024, Tupperware mengumumkan rencana penutupan satu-satunya pabrik yang beroperasi di Amerika Serikat. Selain itu, hampir 150 karyawan yang bekerja di fasilitas tersebut harus diberhentikan. Langkah ini menjadi bagian dari strategi penghematan biaya yang diterapkan oleh perusahaan untuk bertahan di tengah krisis yang sedang berlangsung.
Sejarah Panjang Tupperware
Tupperware merupakan salah satu merek rumah tangga paling dikenal di dunia. Didirikan pada tahun 1946 oleh Earl Tupper, perusahaan ini menjadi pionir dalam inovasi produk plastik dengan segel kedap udara yang fleksibel. Popularitas produk ini melesat pada era 1950-an, berkat metode penjualan langsung yang banyak digelar di pinggiran kota Amerika Serikat.
Hingga tahun 2022, brand ini masih mengandalkan penjualan langsung sebagai model bisnis utamanya. Lebih dari 300.000 wiraniaga independen tercatat dalam dokumen perusahaan, yang sebagian besar beroperasi secara amatir. Namun, meskipun memiliki sejarah yang panjang, kini menghadapi tantangan besar, terutama dalam menarik konsumen dari generasi muda yang kurang akrab dengan merek tersebut.
Pergantian Kepemimpinan Tak Mampu Selamatkan Perusahaan
Dalam upaya menyelamatkan bisnis, Tupperware melakukan perubahan kepemimpinan pada tahun 2023. Miguel Fernandez yang sebelumnya menjabat sebagai CEO digantikan oleh Laurie Ann Goldman. Perubahan ini diharapkan mampu membalikkan keadaan perusahaan. Namun, pergantian kepemimpinan tersebut tampaknya belum cukup untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi, termasuk menurunnya penjualan dan tekanan dari kompetitor.
Pada tahun 2023, saham Tupperware turun drastis hingga 50 persen setelah perusahaan mengeluarkan peringatan mengenai kondisi keuangan mereka. Neil Saunders, seorang analis ritel dari GlobalData Retail, menyebut Tupperware berada dalam “posisi genting” secara finansial. Ia menambahkan bahwa perusahaan ini tidak memiliki banyak aset untuk mengumpulkan dana dan bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Baca juga: PT ACE Hardware Indonesia Resmi Ganti Nama, Fokus Kembangkan Bisnis Baru
Potensi Delisting dari Bursa Saham
Kondisi finansial Tupperware yang terus memburuk juga mengancam posisi perusahaan di New York Stock Exchange (NYSE). Saham Tupperware terancam dihapus dari daftar bursa karena perusahaan gagal mengajukan laporan tahunan yang diwajibkan. Jika delisting ini terjadi, Tupperware akan semakin sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari investor dan mengumpulkan modal yang dibutuhkan untuk melanjutkan operasional.
Selain itu, nilai saham telah anjlok hingga 90 persen dalam setahun terakhir. Upaya perusahaan untuk memperkenalkan produk mereka kepada konsumen muda melalui kemitraan dengan ritel besar seperti Target juga belum memberikan dampak yang signifikan. Meskipun demikian, Tupperware terus berupaya mencari solusi untuk memperbaiki likuiditas jangka pendeknya.
Harapan Terakhir untuk Bertahan
Meskipun berada di ujung tanduk, brand ini tidak menyerah begitu saja. Perusahaan ini dilaporkan sedang meninjau portofolio real estate mereka untuk mencari peluang suntikan dana. Selain itu, mereka juga telah melibatkan penasihat keuangan untuk membantu mencari investor atau mitra potensial yang dapat menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.
Miguel Fernandez, Presiden dan CEO Tupperware, menyatakan bahwa perusahaan sedang melakukan segala daya untuk mengatasi situasi ini. “Tupperware telah memulai perjalanan untuk membalikkan operasi kami, dan kami terus mencari pembiayaan tambahan untuk mengatasi posisi keuangan kami,” ujarnya dalam sebuah pernyataan.
Masa depan brand ternama ini kini tergantung pada kemampuan perusahaan untuk menemukan solusi yang tepat dalam waktu dekat. Dengan utang yang menumpuk dan penurunan penjualan yang drastis, mereka harus berjuang keras untuk tetap bertahan di tengah persaingan pasar yang semakin ketat.
Sumber: Liputan6.