Woiwnews.com – Unggahan di media sosial menyebutkan banyak anak harus menjalani cuci darah di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Salah satu unggahan tersebut dibagikan melalui akun Twitter, @unmagnetxxx, pada Minggu (21/7/2024). “Asli syok, di RSCM banyak bocil-bocil. Kirain berobat apaan, ternyata pada cuci darah,” tulis akun tersebut.
Cuci darah atau hemodialisis adalah perawatan penyelamatan bagi pasien dengan gagal ginjal kronis, penyakit ginjal, atau fungsi ginjal yang menurun hingga 15 persen. Namun, apakah benar banyak anak menjalani cuci darah di RSCM dan apa penyebabnya?
Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi RSCM, Eka Laksmi Hidayati, mengungkapkan bahwa jumlah pasien anak yang menjalani perawatan cuci darah di RSCM tidak mengalami lonjakan. “Memang kalau dilihat angkanya, pasien kita cukup banyak,” ujar Eka dalam siaran langsung akun Instagram @rscm.official, Kamis (25/7/2024).
Eka menjelaskan bahwa RSCM memiliki total 60 anak yang rutin menjalani prosedur dialisis untuk menggantikan fungsi ginjal. Namun, tidak semua anak tersebut menjalani cuci darah. Dari 60 pasien, sebanyak 30 anak harus menjalani cuci darah, sementara yang lain menggunakan dialisis dengan mesin atau hanya kontrol per bulan.
Ia juga menyebutkan bahwa jumlah pasien tersebut cukup banyak karena RSCM menjadi rumah sakit rujukan dari Jakarta dan luar Jawa. “RSCM memiliki banyak pasien anak cuci darah karena menjadi tempat rujukan dari sekitar Jakarta hingga luar Jawa,” jelasnya. RSCM saat ini memiliki delapan mesin cuci darah dan setiap hari melayani 16-20 pasien anak.
Baca juga: 10 Negara dengan Populasi Terbesar di Dunia 2024
Menurut Eka, anak secara umum jarang mengalami gagal ginjal dibandingkan orang dewasa. Namun, ada beberapa penyebab gangguan ginjal pada anak, seperti kelainan bawaan berupa bentuk atau fungsi ginjal yang tidak normal, serta sindrom nefrotik yang membuat ginjal membuang terlalu banyak protein dari darah ke urine. Selain itu, kelainan bentuk ginjal polikistik, di mana ginjal berisi banyak kista, juga dapat menyebabkan gagal ginjal pada anak.
Anak yang lahir hanya dengan satu ginjal atau ginjal yang berukuran kecil juga berpotensi mengalami gagal ginjal saat dewasa. Selain itu, anak berusia 5-18 tahun sering menjalani cuci darah karena menderita glomerulonefritis (peradangan bagian glomerulus), tidak respons terhadap obat-obatan, dan lupus yang memengaruhi ginjal.
Eka memastikan bahwa banyaknya anak yang mengalami gagal ginjal atau menjalani cuci darah tidak terkait dengan konsumsi obat sirop yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. “Waktu itu, ada obat yang tercemar zat lain. Cemaran itu sudah diperbaiki, sekarang kontrolnya lebih baik. Saat ini, tidak ada lonjakan sama sekali jadi tidak ada hubungannya dengan obat sirop,” tegasnya.
Eka menjelaskan bahwa anak dengan fungsi ginjal yang belum turun hingga 15 persen belum perlu cuci darah dan akan menjalani terapi terlebih dahulu. Namun, jika fungsi ginjalnya menurun, pasien anak akan menjalani prosedur dialisis berupa hemodialisis atau cuci darah dengan mesin, Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis lewat perut, serta transplantasi ginjal.
Eka menyebutkan bahwa anak dapat menjalani cuci darah karena menderita gagal ginjal kronis atau akut. “Pada pasien gagal ginjal akut, anak bisa kembali normal. Pasien yang sudah menjalani terapi dan cuci darah, saat ini mereka sudah sehat dan tidak perlu menjalani cuci darah,” jelasnya. Gagal ginjal akut merupakan kerusakan ginjal yang terjadi secara tiba-tiba atau cepat, biasanya akibat infeksi atau kehilangan cairan yang cepat, dan dapat disembuhkan hingga normal jika penyebabnya diatasi.
Namun, Eka menambahkan bahwa pasien anak dengan gagal ginjal akut yang tetap perlu menjalani cuci darah dalam jangka panjang. Sebaliknya, pasien anak dengan gagal ginjal kronis yang penyebabnya permanen, seperti kelainan bawaan, harus menjalani prosedur cuci darah atau dialisis lainnya secara rutin. “Pasien gagal ginjal kronis karena kelainan bawaan yang tidak merespons obat atau ginjalnya mengecil tidak bisa lagi kembali normal. Mereka harus rutin menjalani dialisis atau lebih baik lagi perlu transplantasi ginjal untuk memperbaiki kualitas hidupnya,” tutupnya.
Dengan demikian, meskipun jumlah pasien anak yang menjalani cuci darah di RSCM cukup banyak, ini disebabkan oleh peran RSCM sebagai rumah sakit rujukan serta berbagai penyebab medis yang memerlukan perawatan intensif. Upaya untuk mengembangkan perawatan ginjal anak di berbagai provinsi juga tengah dilakukan agar layanan kesehatan dapat lebih merata di seluruh Indonesia.
Sumber: Kompas.